30 November 2010

Cintaku Padamu 10% - Chapter 3

Sore itu, di sebuah mushola milik panti asuhan pinggiran kota Semarang, seorang wanita berkerudung cokelat terlihat sedang mengajarkan beberapa surat-surat pendek pada sekumpulan anak-anak berumur 10 tahunan. Lutfi, yang sebenarnya menjadi salah satu pengasuh juga ustadzah di panti asuhan Fatimatuzahra. Dia mengisi sisa waktu sepulang kuliah dengan mengajar kelas agama atau mengasuh beberapa anak yatim piatu yang masih balita. Dia mengasuhnya dengan rasa sabar, juga penuh kelembutan, tanpa meminta bayaran, karena Lutfi hanya ingin berbagi kasih sayang pada anak-anak yang tak pernah merasakan kasih sayang dari orang tuanya. Berbeda dengan Lutfi, yang selalu dilimpahi kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya. Dia juga tak pernah kekurangan dalam hal materi, karena pekerjaan ayahnya yang bisa dibilang cukup terpandang di kota Wonosobo. Lutfi tergerak hatinya saat mengikuti syukuran milad Aini, teman kostnya yang ke 20 yang diadakan di panti asuhan itu sekitar dua tahun yang lalu. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menjadi salah satu tenaga pengajar juga mengasuh beberapa anak yatim piatu disitu.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui kegiatannya itu selain Aini, Lutfi hanya ingin melakukan hal itu ikhlas lillahi ta'ala tanpa keinginan agar orang lain melihat juga memujinya. Kalau saja Fadhil mengetahui hal ini, mungkin perasaan kagumnya akan semakin bertambah pada Lutfi. Namun Lutfi tidak tahu ataupun mengenal Fadhil, walaupun dia pernah mendengar ada dua orang ikhwan yang sedang membicarakannya di teras masjid kemarin siang, yang sebenarnya adalah Fadhil dan Aziz.
"Mbak... mbak Fifi kapan mau buatin Nurul baju lagi? Nurul pingin yang warnanya biru, tapi ada kembang-kembangnya." ujar seorang anak perempuan berusia 4 tahun saat Lutfi sedang menggantikan pakaiannya usai mandi sore tadi. Lutfi pun tersenyum dan menjawab, "Ehm... kapan ya? Mbak ndak janji ya Rul, tapi Insya Allah nanti mbak buatkan." "Beneran ya mbak?" senyum kembali terukir di wajah Nurul, lalu dia pun beranjak meninggalkan Lutfi untuk bermain bersama teman-temannya. "Eh, Nurul... ati-ati! Ojo mlayu-mlayu!" suara Bu Fatimah, pengurus panti asuhan muncul tiba-tiba dan masuk ke dalam kamar. Lutfi pun melanjutkan berberes sisa mainan anak-anak dan pakaian yang masih berantakan. "Aduh, mbak Fifi. Itu ndak usah diberesi, nanti biar Rusti saja yang mberesin." cegah Bu Fatimah pada Lutfi, yang memang kesehariannya di panggil Fifi. "Oh ndak apa-apa bu, wong cuma boneka sama baju aja kok." jawab Lutfi melanjutkan. "Maturnuwun ya mbak, sudah mau bantu panti asuhan ini. Kalo ndak ada mbak Fifi dan mbak Aini, mungkin kami masih kekurangan pengajar." ujar Bu Fatimah. "Nggih bu, sami-sami. Saya juga senang bisa bantu-bantu disini, selain untuk mengisi waktu di luar jam kuliah, saya bisa main-main sama adik-adik."
Diluar panti asuhan, tidak di duga datanglah Fadhil dan Aziz yang ternyata akan mengadakan bakti sosial dari UKM kampusnya. "Assalamualaikum..." Aziz mengucap salam. "Wa'alaikum salam. Siapa ya?" Jawab Lutfi dari dalam kamar, dan segera bergegas keluar. Aziz dan Lutfi sama-sama terkejut saat bertemu pandang, namun keduanya tetap terlihat tenang. "Fifi... ngapain kamu disini?" tanya Aziz. "Aku...aku..." jawab Lutfi bingung menjawab, dia kesulitan untuk menyembunyikan keterkejutannya. "Eh... Nak Aziz udah dateng. Monggo mlebet rumiyin, pinarak mas." tiba-tiba Bu Fatimah muncul dan menolong Lutfi yang gugup karena kehadiran Aziz yang tidak disangkanya, Lutfi pun dengan segera kembali masuk ke kamar. "Oh nggih Bu, maturnuwun." jawab Aziz yang masih melihat kepergian Lutfi yang masuk ke kamar. "Kepripun mas? Jadi mau mengadakan bakti sosial di panti asuhan ini?" "Nggih bu, jadi kok. Saya udah diskusi sama teman-teman di kampus, dan mereka setuju saat saya usulkan tempatnya di panti asuhan ini." jawab Aziz. "Syukur alhamdulillah nek kados niku. Kira-kira kapan pelaksanaannya mas?" Bu Fatimah kembali bertanya. "Insya Allah besok lusa bu. Oh ya, itu tadi Fifi ngapain di sini ya bu?" "Oh, mbak Fifi disini jadi ustadzah yang ngajarin anak-anak ngaji kalo sore, terus kadang ngemong yang masih balita. Bareng sama mbak Aini juga kok mas." Bu Fatimah menjelaskan. "Oh kados niku nggih bu. Nggih sampun, kulo pareng rumiyin. Udah di tunggu Fadhil bu itu diluar, dia malah asik mainan sama anak-anak." pamit Aziz. "Oh ya mas, saya tunggu kabar selanjutnya__", kata Bu Fatimah sambil mengantarkan kepergian Aziz sampai pintu ruang tamu. "___ nak Fadhil kok ndak masuk to?" tanyanya pada Fadhil yang tengah asik bermain bola dengan beberapa anak laki-laki sekitar umur 8 tahunan. "Oh nggih bu, maturnuwun. Ini tadi di ajakin mainan bola sama Taufan dan temennya, jadi lupa__". kata Fadhil merasa tak enak. "__wis rampung opo Ziz?" tanya Fadhil beralih ke Aziz. "Iya. Pamit dulu bu, Assalamualaikum". pamit Aziz sambil agak menyeret Fadhil untuk segera pergi dari situ. "Wa'alaikumsalam." jawab Bu Fatimah. Dari balik jendela kamar, Lutfi memandangi kepergian Aziz dan Fadhil. "Kenapa aku bisa ketemu Mas Aziz lagi?" ujar Lutfi dalam hati.
"Iki opo to? kok aku di geret-geret?" ujar Fadhil sambil melepas tangan Aziz dari lengannya. "Koe ngerti ora, tadi di dalem aku ketemu siapa? Kamu pasti bakal kaget kalo tau siapa orangnya." "Sopo to?" kata Fadhil acuh. "Fifi." jawab Aziz. "Fifi siapa?" "Lutfi... Lutfi, Dil...." "Hah?? Tenane?" jawab Fadhil kaget. "Ya kan aku bilang apa, kamu pasti kaget. Iya, tadi yang nemuin aku pertama kali tu Fifi, alias Lutfi." "Dia ngapain di sana Ziz? Kok kemarin kita bolak balik ke sana ndak lihat dia?" Fadhil terlihat antusias. "Kata Bu Fatimah, Fifi mulang ngaji kalo sore, sama ngemong anak-anak yang masih balita, bareng sama Aini ternyata. Sedangkan kita kesana seringnya pas pagi, makanya ndak pernah liat si Fifi. Tapi kok Aini ndak pernah cerita sama aku je kalo Fifi juga bareng sama dia di panti asuhan itu." "Lah ya embuh. Berarti, anak kecil yang waktu itu di gendong Lutfi, pasti anak dari panti asuhan itu. Lega aku...hehe." ujar Fadhil senang. "Kayaknya iya. Ya udah, kita pikirin dulu persiapan acara baksos kita besok lusa. Ojo mikiri Lutfi wae!" ledek Aziz. "Yo ben." kata Fadhil masih terlihat senang, karena pertanyaan tentang Lutfi kemarin terjawab sudah.

Keterangan:
ikhwan  : sebutan untuk laki-laki muslim
ndak   : tidak
Nggih  : iya                              
ati-ati! Ojo mlayu-mlayu!  : hati-hati! Jangan lari-lari!
wong : orang
Maturnuwun  : Terimakasih
Nggih bu, sami-sami  : Ya bu, sama-sama
Monggo mlebet rumiyin, pinarak mas  : Silakan masuk, duduk mas
nek kados niku : kalau seperti itu
ngemong  : mengasuh
kulo pareng rumiyin : saya pamit dulu
wis rampung opo?  : udah selesai apa?
Iki opo to? kok aku di geret-geret? : ini apaan sih? kok aku diseret-seret?
Koe ngerti ora? : kamu tahu nggak?
Sopo to? : siapa sih?
Tenane?  : yang bener?
mulang ngaji : mengajar mengaji
Lah ya embuh  : Ya nggak tahu
Ojo mikiri Lutfi wae : Jangan memikirkan Lutfi terus
Yo ben : Ya biarin

27 November 2010

Cintaku Padamu 10% - Chapter 2

Sepulang mengajar dari MI, tempat Fadhil menjadi guru honorer selama hampir satu tahun ini, Fadhil segera bergegas ke toko buku pinggir jalan tempat Lutfi biasa datangi, sebelum dia mengikuti Kajian Hadist di kampus sesudah dzuhur nanti. Sudah hampir tiga hari dia tidak melihatnya, rasanya ada yang kurang, begitulah yang Fadhil rasakan. Setelah menunggu di sebuah kedai makanan di seberang jalan, Fadhil tersenyum, karena yang dia tunggu-tunggu telah datang. Kali ini Lutfi mengenakan gamish merah muda keunguan, dan memakai berwarna sama namun lebih tua dari gamishnya. Namun, ada hal yang membuat dahi Fadhil berkerut pada saat itu juga, kali ini Lutfi tidak sendirian. Dia menggendong seorang balita, perempuan tepatnya. Dengan sekejap berbagai pertanyaan dan dugaan timbul di pikiran Fadhil, anak siapa itu? Mungkinkah anak Lutfi? "Ah tidak mungkin, Lutfi belum menikah. Paling keponakannya." sangkalnya dalam hati. Dengan segera Fadhil meninggalkan tempat tersebut, yang ingin segera dia temui adalah Aziz, dia ingin menceritakan hal yang baru saja dia lihat, dan menanyakan dugaan-dugaan dalam pikirannya.
"Rul, koe ndelok Aziz ora?" tanya Fadhil pada Asrul, teman sekelasnya bersama Aziz saat bertemu di depan perpustakaan."Ora, kenapa to? Kayane penting banget." jawab Asrul penasaran. "Yo wes, tak golet sik si Aziz." jawab Fadhil langsung ngeloyor pergi, Asrul pun cuma bisa pasang ekspresi wajah bingung. Dicarinya sosok Aziz yang sudah sangat dikenalnya ke seluruh penjuru kampus. Akhirnya, dia melihat Aziz yang mengenakan kemeja biru polos sedang duduk di teras masjid kampus, mengenakan sepatu, sepertinya habis shalat dzuhur. "Ziz, kemana aja kamu, dari tadi tak cari muter-muter." "Ada apa Dil? Kayaknya ada hal yang mau kamu omongin."
"Gini___", Fadhil pun duduk di sebelah Aziz. "__tadi kan aku liat Lutfi lagi, di warung buku kemarin." lanjutnya. "Trus...?" tanya Aziz. "Yang bikin aku kaget, Lutfi ndak sendirian Ziz. Dia nggendong anak kecil, mungkin masih umur setahun." "Hah? Tenane?" Aziz pun kaget. "Beneran Ziz, masa iya aku salah lihat. Aku aja kaget. Dia belum nikah apalagi punya anak kan?" "Setahuku sih belum. Dari berita yang aku denger, Lutfi emang udah banyak yang ngelamar, kaya si Hasan anak Psikologi, Rian anak Teknik Sipil, sampe Taufan, Presiden BEM kita. Tapi semuanya dia tolak dengan halus, tu cerita dari Aini, teman satu kostnya. Aini itu masih kerabat denganku." Begitulah Aziz panjang lebar menjelaskan. "Terus, anak kecil yang digendongnya itu siapa? Apa mungkin keponakannya?" Fadhil menduga-duga. "Ehm... Wallahu 'alam. Tapi setahuku, Lutfi ndak punya saudara di Semarang, makanya dia juga ngekost." Sambil meneruskan pembicaraan tentang  Lutfi, Fadhil dan Aziz tidak merasa bahwa dari teras sebelah area shalat perempuan ada seseorang yang tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan mereka, namun belum sampai Fadhil dan Aziz menyelesaikan pembicaraanya, dia bergeser tempat, lebih jauh dari tempat sebelumnya, sehingga ia tidak bisa lagi mendengar pembicaraan mereka.
"Wis, nggak usah terlalu kamu pikirin Dil. Ntar juga kamu bisa tahu kebenarannya, apa perlu aku minta informasi lagi tentang Lutfi sama Aini? Kalo dirasa perlu, nanti aku hubungin dia." saran Aziz. "Ehm...boleh juga usulmu Ziz. Aku tunggu infonya ya." jawab Fadhil cemas. "Iya, tak usahain. Ayo kita masuk, sebentar lagi Kajian Hadistnya dimulai, kamu juga belum dzuhuran kan?." ajak Aziz. "Oh ya, meh wae lali..." jawab Fadhil dengan anggukan, bergegas masuk ke dalam masjid, dengan masih menyimpan banyak pertanyaan tentang Lutfi.

Keterangan:
koe ndelok Aziz ora?     : kamu liat Aziz nggak?
Ora, kenapa to?            : Nggak, kenapa sih?
Kayane penting banget : Sepertinya penting sekali
Yo wes, tak golet sik      : Ya sudah, aku cari dulu
ndak                               : tidak
Tenane?                         : Yang bener?
meh wae lali                  : hampir saja lupa

26 November 2010

Cintaku Padamu 10% - Chapter 1

Sesosok laki-laki memandang seorang wanita berjilbab merah jambu dari kejauhan, tampak  sedang sibuk memilih dan mencermati buku-buku yang dijajakan oleh penjualnya di pinggir jalan daerah Semarang, dan dengan cermat memperhatikan setiap gerakan  wanita itu. Keanggunan, kelembutan, kedamaian, ketenangan, dan pancaran seorang muslimah terlihat begitu kentara pada wanita itu.Ya, sudah hampir satu minggu Fadhil memperhatikan "Ukhti" itu. Begitulah Fadhil menyebut namanya, karena dia tidak tahu siapa nama wanita itu, apalagi memiliki keberanian untuk berkenalan, mencari tahu namanya saja dia enggan. Fadhil hanya bisa mengikuti, mengintai, dan memandang dari kejauhan bila tak sengaja bertemu kembali dengan  Sang Akhwat yang sedang mencari buku di daerah situ. Fadhil merasa Sang Akhwat terlalu suci untuk didekati. Bagi Fadhil, Sang Akhwat seperti keindahan alam ciptaan Tuhan yang hanya bisa dinikmati juga dipandang keindahannya dari kejauhan. Dia tahu bahwa tak sepantasnya dia melakukan hal itu, namun dia begitu mengagumi Sang Akhwat.
Berawal ketika dia sedang memilih buku di penjual pinggir jalan yang sama, Fadhil sangat tertarik saat melihat buku berjudul Istikharah Cinta. Namun, ketika ia hendak meraih buku itu, sebuah tangan lain lebih dulu mengambilnya. Fadhil tak kuasa untuk melihat siapakah pemilik tangan itu, "Subhanallah" hanya itu yang terucap dalam hatinya. Wajah cantik khas Indonesia, dengan hidung mancung, mata yang tidak terlalu besar ataupun sipit, dan tentu saja jilbab besar berwarna biru muda yang saat itu sedang ia kenakan. Sang akhwat memandangnya, saking kagetnya Fadhil berlalu pergi meninggalkannya. Terkesan tidak sopan memang pikir Fadhil, tapi dia merasa tersengat listrik, tangannya gemetar, hatinya pun berdebar-debar. Tidak lucu bila dia nantinya berkeringat dan terlihat sangat gugup di depan Sang Akhwat, maka Fadhil pun lebih memilih pergi ke masjid dan menenangkan diri. "Ya Rabb... Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Hamba takut perasaan ini salah, dan bukan pada tempatnya. Tunjukkan yang terbaik Ya Allah.." doa Fadhil ketika itu.
Masih dengan cermat memperhatikan Sang Akhwat yang membaca buku, Fadhil berpikir akankah dia seperti ini terus? Dia ingin mengenal Sang Akhwat, namun dia tak punya keberanian. "Lutfi... Lutfi Ramadhani." Fadhil terkaget saat suara Aziz tiba-tiba muncul dari belakang. Aziz adalah sahabatnya di kampus, sama berprestasinya dengan Fadhil. Mereka berdua sama-sama mendapatkan beasiswa di universitasnya karena telah menjadi hafidz Al Qur'an 15 juz setelah tamat dari MAN yang berbeda. Walaupun memang Fadhil lebih tinggi dari Aziz, mereka sama-sama tampan, hanya saja Aziz sedikit lebih terang warna kulitnya daripada Fadhil.
"Opo koe Ziz, ngageti wae." ucap Fadhil dengan aksen jawanya yang medhok. Aziz tersenyum simpul, "Ra popo, kamu ngapain kok ngeliatin dia terus?". "Koe ngerti jenenge?" Fadhil merasa senang. "Yo ngerti, dia kan anak Manajemen Syari'ah, udah mau wisuda juga kok. Ndak ngerti po?" jawab Aziz. "Ndak je, aku ya tau dia akhir-akhir ini aja." Fadhil merasa mendapat sedikit harapan untuk tahu tentang Sang Akhwat yang ternyata bernama Lutfi.
"Kamu tau tentang ukhti itu dari mana Ziz?" tanya Fadhil penasaran. "Lutfi itu dulu temenku waktu masih MAN di Wonosobo dulu. Cuma dulu aku sama dia beda kelas. Kenapa to?__" tanya Aziz balik ingin tahu, "__kamu naksir dia ya?" ledek Aziz, sembari berjalan meninggalkan tempat dimana Fadhil mengintai Lutfi. "Ah koe iki ngomong opo?" jawab Fadhil malu-malu menjawabnya dan dengan segera berjalan disebelah Aziz. "Wis, ndak usah isin mbek aku. Kamu tertarik kan sama dia?__" selidik Aziz, Fadhil hanya bisa tersenyum. "__tapi kamu mesti siap mental Dil. Lutfi itu udah banyak yang nglamar, dia pinter, cantik, tapi ada satu hal yang aneh." "Aneh piye Ziz?" Fadhil semakin penasaran. "Si Lutfi itu anti banget sama laki-laki, jangankan ngobrol sama laki-laki, senyum atau nyapa aja dia nggak mau. Nggak tau kenapa, tapi dulu waktu MAN dia nggak kaya gitu. Itu sih kata temenku yang satu kelas sama dia, secara sekarang juga aku nggak pernah ngobrol lagi sama dia, semenjak masuk kuliah malahan." Fadhil cuma bisa diam mendengar penjelasan Aziz, lalu Aziz pun melanjutkan ceritanya. "Dia ngajinya bagus lho, kan sering menang lomba Tilawatil Qur'an di tingkat universitas se-Jawa Tengah."
Fadhil merasa senang sekaligus penasaran tentang kebenaran cerita Aziz, semakin besar rasa kagumnya pada Lutfi. Dia berpikir, suatu saat nanti dia harus bisa mengenal dan berteman dengan Lutfi, walaupun akan terasa sangat sulit bila ternyata apa yang diceritakan Aziz itu benar.

Keterangan:
Ukhti  : sebutan untuk seorang muslimah
Opo koe Ziz, ngageti wae : Apa kamu Ziz, mengagetkan saja
Ra popo  : Nggak apa-apa
Koe ngerti jenenge : Kamu tahu namanya
Ndak ngerti po? : Nggak tahu apa?
koe iki ngomong opo : Kamu ini ngomong apa
Wis, ndak usah isin mbek aku : Udah, nggak usah malu sama aku
Aneh piye : Aneh gimana

2 September 2010

Wanita Paling Bahagia Di Dunia

Wahai manusia yang paling bahagia karena agama dan etika
Meskipun tanpa permata, kalung, dan emas yang menghiasinya
Melainkan berkat tasbih yang selalu dibacanya
Karena hijab yang terulur di seluruh tubuhnya
Patuhnya ia pada sang suami
Lembutnya pada anak dan baktinya pada kedua orang tua
Serta lisan dan tingkah laku yang terjaga
Bagaikan berita gembira, bagaikan hujan, bagaikan fajar
Bagaikan sinar dan bagaikan awan
Dalam sujud, ruku', dan do'a
Dalam sikap selalu merasa dalam pengawasan Allah
Dalam pemikiran yang bersumber dari cahaya luh
Dalam kitab-kitab yang juga dipesankan
Oleh cahaya wahyu yang diturunkan di gua yang darinya Rasul
Tuhanmu dapat menguasai bahasa Romania dan bahasa Arab
Engkau adalah manusia paling bahagia di dunia
Berkat keyakinan yang ada
Dalam kalbumu yang suci lagi penuh ketaatan

1 September 2010

Wanita seperti Pakaian

Suatu hari, seorang ibu sedang memberikan sebuah nasehat pada anaknya yang beranjak dewasa. Ibu itu  berkata, "Jadilah wanita seperti pakaian yang ada dalam etalase nak. Jangan seperti pakaian yang di obral." Dia tertegun, tak mengerti apa yang ibunya maksudkan.  Lalu ibu itu menjelaskan, "Ketika kita melihat pakaian pada manekin dalam etalase, terlihat cantik bukan? Tetap bisa kita nikmati keindahannya, tapi terjaga dalam kotak kaca dan tak banyak dicoba maupun dijamah orang. Berbeda dengan pakaian yang kita beli di obralan, harganya tentu jauh murah daripada pakaian yang di etalase, banyak yang menjamah, mencoba, dan bila tidak cocok dikembalikan, atau dijadikan rebutan."
"Lalu apa hubungannya dengan aku sebagai wanita bu?", anak itu kembali bertanya.
Ibunya kembali menjawab, "Anakku sayang, jika nanti kamu beranjak dewasa, jadilah wanita yang tidak mudah dijamah pria, seperti baju yang ada dalam etalase tadi, yang akan menjadikanmu lebih berharga dan terhormat di mata pria yang akan menyuntingmu kelak. Jangan sampai kamu seperti baju yang diobral, yang mudah dijamah, apalagi di coba."
"Sekarang aku mengerti bu." Jawab anak itu sambil tersenyum pada ibunya.