27 November 2010

Cintaku Padamu 10% - Chapter 2

Sepulang mengajar dari MI, tempat Fadhil menjadi guru honorer selama hampir satu tahun ini, Fadhil segera bergegas ke toko buku pinggir jalan tempat Lutfi biasa datangi, sebelum dia mengikuti Kajian Hadist di kampus sesudah dzuhur nanti. Sudah hampir tiga hari dia tidak melihatnya, rasanya ada yang kurang, begitulah yang Fadhil rasakan. Setelah menunggu di sebuah kedai makanan di seberang jalan, Fadhil tersenyum, karena yang dia tunggu-tunggu telah datang. Kali ini Lutfi mengenakan gamish merah muda keunguan, dan memakai berwarna sama namun lebih tua dari gamishnya. Namun, ada hal yang membuat dahi Fadhil berkerut pada saat itu juga, kali ini Lutfi tidak sendirian. Dia menggendong seorang balita, perempuan tepatnya. Dengan sekejap berbagai pertanyaan dan dugaan timbul di pikiran Fadhil, anak siapa itu? Mungkinkah anak Lutfi? "Ah tidak mungkin, Lutfi belum menikah. Paling keponakannya." sangkalnya dalam hati. Dengan segera Fadhil meninggalkan tempat tersebut, yang ingin segera dia temui adalah Aziz, dia ingin menceritakan hal yang baru saja dia lihat, dan menanyakan dugaan-dugaan dalam pikirannya.
"Rul, koe ndelok Aziz ora?" tanya Fadhil pada Asrul, teman sekelasnya bersama Aziz saat bertemu di depan perpustakaan."Ora, kenapa to? Kayane penting banget." jawab Asrul penasaran. "Yo wes, tak golet sik si Aziz." jawab Fadhil langsung ngeloyor pergi, Asrul pun cuma bisa pasang ekspresi wajah bingung. Dicarinya sosok Aziz yang sudah sangat dikenalnya ke seluruh penjuru kampus. Akhirnya, dia melihat Aziz yang mengenakan kemeja biru polos sedang duduk di teras masjid kampus, mengenakan sepatu, sepertinya habis shalat dzuhur. "Ziz, kemana aja kamu, dari tadi tak cari muter-muter." "Ada apa Dil? Kayaknya ada hal yang mau kamu omongin."
"Gini___", Fadhil pun duduk di sebelah Aziz. "__tadi kan aku liat Lutfi lagi, di warung buku kemarin." lanjutnya. "Trus...?" tanya Aziz. "Yang bikin aku kaget, Lutfi ndak sendirian Ziz. Dia nggendong anak kecil, mungkin masih umur setahun." "Hah? Tenane?" Aziz pun kaget. "Beneran Ziz, masa iya aku salah lihat. Aku aja kaget. Dia belum nikah apalagi punya anak kan?" "Setahuku sih belum. Dari berita yang aku denger, Lutfi emang udah banyak yang ngelamar, kaya si Hasan anak Psikologi, Rian anak Teknik Sipil, sampe Taufan, Presiden BEM kita. Tapi semuanya dia tolak dengan halus, tu cerita dari Aini, teman satu kostnya. Aini itu masih kerabat denganku." Begitulah Aziz panjang lebar menjelaskan. "Terus, anak kecil yang digendongnya itu siapa? Apa mungkin keponakannya?" Fadhil menduga-duga. "Ehm... Wallahu 'alam. Tapi setahuku, Lutfi ndak punya saudara di Semarang, makanya dia juga ngekost." Sambil meneruskan pembicaraan tentang  Lutfi, Fadhil dan Aziz tidak merasa bahwa dari teras sebelah area shalat perempuan ada seseorang yang tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan mereka, namun belum sampai Fadhil dan Aziz menyelesaikan pembicaraanya, dia bergeser tempat, lebih jauh dari tempat sebelumnya, sehingga ia tidak bisa lagi mendengar pembicaraan mereka.
"Wis, nggak usah terlalu kamu pikirin Dil. Ntar juga kamu bisa tahu kebenarannya, apa perlu aku minta informasi lagi tentang Lutfi sama Aini? Kalo dirasa perlu, nanti aku hubungin dia." saran Aziz. "Ehm...boleh juga usulmu Ziz. Aku tunggu infonya ya." jawab Fadhil cemas. "Iya, tak usahain. Ayo kita masuk, sebentar lagi Kajian Hadistnya dimulai, kamu juga belum dzuhuran kan?." ajak Aziz. "Oh ya, meh wae lali..." jawab Fadhil dengan anggukan, bergegas masuk ke dalam masjid, dengan masih menyimpan banyak pertanyaan tentang Lutfi.

Keterangan:
koe ndelok Aziz ora?     : kamu liat Aziz nggak?
Ora, kenapa to?            : Nggak, kenapa sih?
Kayane penting banget : Sepertinya penting sekali
Yo wes, tak golet sik      : Ya sudah, aku cari dulu
ndak                               : tidak
Tenane?                         : Yang bener?
meh wae lali                  : hampir saja lupa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar